Detik-detik Ajal Menjemput Nabi Muhammad SAW
Dengan suara yang lemah dan terbata-bata, pagi
itu Muhammad saw, rasul terakhir, memberikan nasehat kepada sahabat-sahabatnya:
"Wahai umatku, kita semua ada dalam
kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah kepada-Nya.
Kuwariskan dua hal pada kalian, sunnah dan Al-Qur'an. Barang siapa mencintai
sunnahku, berarti ia mencintai aku. Dan bersamaku kelak, orang-orang yang
mencintaiku, akan masuk ke dalam surga bersama-sama.”
Baca juga | Sifat-sifatNabi Muhammad SAW
Sesudah mengakhiri khutbahnya, dengan tatapan
yang teduh dan penuh kasih, Muhammad menatap wajah sahabatnya satu per satu.
Bertahun-tahun Rasulullah melakukan kebiasaan mengabsen sahabatnya di pagi
hari. Tetapi tatapan di pagi hari itu, lain dari biasanya.
Ada perasaan yang begitu berat mengganjal di
hatinya. Ada perasaan tidak ingin hidup terpisahkan dari mereka. Siapa yang
sanggup, berpisah dengan orang-orang terkasih, yang telah menemani dalam suka
dan duka, selama lebih dari 22 tahun? Ia seperti ingin terus berada di
tengah-tengah para sahabatnya, yang telah rela mengorbankan apa saja yang
menjadi milik mereka, demi tegaknya risalah yang diemban rasul-Nya.
Baca juga | Orang-orangyang Didoakan Oleh Para Malaikat
Suasana senyap. Para sahabat merasa, waktunya
telah tiba. Sesudah haji wada, yang juga menyiratkan berakhirnya risalah
kenabian Muhammad, para sahabat masih terus menunggu, kapan tiba waktunya. Dan
kini mereka merasa, mungkin inilah saatnya.
Abu Bakar mamandang Rasulullah. Matanya
menatap nanar dan berkaca-kaca. Umar yang gagah dan pemberani, sesak dadanya,
berusaha menahan tangis sekuat daya. Utsman terpaku dalam diam. Ali menundukkan
kepalanya dalam-dalam. Semua yang hadir tidak mampu megeluarkan kata-kata.
Manusia tercinta itu sudah berada di ujung yang paling akhir dari
perjalanannya. Usai sudah Muhammad menunaikan tugasnya.
Tatkala Rasulullah berjalan limbung turun dari
mimbar, Ali dan Fadhal dengan sigap segera menangkapnya. Rasulullah segera
dipapah masuk ke dalam rumahnya, yang hanya berjarak beberapa meter dari
mimbarnya, di Masjid Nabawi yang mulia. Para sahabat semakin yakin, saatnya
telah tiba.
Mereka terus berkumpul, di sekitar rumah
Rasulullah, menunggu detik-detik berlalu. Matahari sudah meninggi, tetapi pintu
rumah Nabi masih saja tertutup. Manusia agung yang mampu hidup lebih mewah dari
segala raja, memilih tidur beralaskan tikar, terbaring lemah di dalamnya,
bersama keluarganya yang mulia. Keringat yang mengucur dari keningnya membasahi
pelepah kurma yang menjadi bantalnya.
Dari arah luar, tiba-tiba terdengar seorang
laki-laki berseru, "Assalamu'alaikum!" Fatimah, putri Nabi, keluar
menemuinya. "Boleh saya masuk?” tanya laki-laki itu. Fatimah tidak
memberinya izin, karena ayahandanya sedang terbaring lemah. “Maafkanlah,
ayahandaku sedang demam,” kata Fatimah sambil membalikkan badan dan segera
menutup kembali pintunya.
Fatimah kembali menemani ayahnya. Rasulullah
sudah membuka matanya saat Fatimah datang menghampiri. Ia bertanya pada
putrinya, “Siapakah tadi yang datang wahai putriku?” Fatimah menjawab, “Aku
tidak tahu, baru sekali ini aku melihatnya." Lalu Rasulullah menatap wajah
putrinya dalam-dalam, layaknya seorang ayah yang hendak pergi meninggalkan
anaknya untuk jangka waktu yang cukup lama.
“Ketahuilah wahai putriku, dialah yang
menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan kita di
dunia. Dialah malakul maut,” kata Rasulullah. Mendengar itu, meledaklah tangis
Fatimah, yang selama ini ditahannya.
Saat malaikat maut datang menghampiri,
Rasulullah bertanya, mengapa Jibril tidka ikut bersamanya. Jibril sedang
bersiap di atas langit untuk menyambut datangnya kekasih Allah, pamungkas para
nabi dan Rasul, penghulu dunia ini. Lalu dipanggilah Jibril turun ke bumi
mendekat kepada Rasulullah.
Dengan suaranya yang lirih Rasulullah
bertanya, "Wahai Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?"
Jibril menjawab, "Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah
menanti kedatangan ruhmu. Semua pintu surga terbuka lebar menanti
kedatanganmu."
Jawaban itu tidak memuaskan Rasulullah. Di
wajahnya masih terlukis kecemasan. “Apakah engkau tidak suka mendengar kabar
ini, wahai kekasih Allah?” Jibril bertanya dengan heran. Nabi menukas,
"Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku sepeninggalku!"
“Engkau tidak perlu khawatir, wahai Rasul
Allah. Pernah Allah berfirman kepadaku: Kuharamkan surga bagi siapa saja,
kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya,” ujar Jibril menghibur.
Waktu semakin memburu. Malaikat maut didesak
waktu. Ia harus segera menunaikan tugasnya. Apabila ajal telah tiba, tidak ada
yang bisa menahan barang sedetik, tidak juga ada yang mampu mengulurnya,
demikian janji Allah kepada seluruh manusia. Perlahan-lahan Israil menarik ruh
Rasulullah dari jasadnya yang semakin melemah. Rasulullah bersimbah keringat di
sekujur tubuhnya. "Aduhai Jibril, betapa sakitnya sakaratul maut
ini."
Rasulullah mengaduh perlahan. Suaranya lirih.
Mata Fatimah Az-Zahra terpejam. Ali tertunduk dalam diam di sampingnya.
Malaikat pengantar wahyu tak kuasa melihat penderitaan kekasih Allah,
dibuangnya mukanya jauh-jauh.
"Apakah engkau jijik melihatku, hingga
kau palingkan wajahmu dariku?" tanya Nabi kepada Jibril. "Siapa yang
mampu melihat penderitaan kekasih Allah direngut nyawanya?" ujar Jibril.
Tak kuasa menahan sakit, Rasulullah memekik.
"Ya Allah, betapa sakitnya maut ini. Timpakan semua siksa maut ini
kepadaku. Jangan kau berikan kepada ummatku." Sekujur tubuh Rasulullah,
dari kaki hingga dada, sudah mulai terasa dingin. Di penghujung ajalnya, ketika
nafas tinggal satu-satu meninggalkan rongga dadanya, bibirnya bergerak seperti
hendak mengatakan sesuatu. Ia masih ingin mengatakan sesuatu. Menantu
Rasulullah yang berada di sampingnya segera mendekatkan telinganya, mendengar
dengan sangat seksama. "Uushiikum bis-shalah, wa maa malakat
aimanukum." Itulah kalimatnya yang keluar. "Peliharalah shalat, dan
santunilah budak-budak di antaramu."
Di luar rumah, suara tangis para sahabat mulai
terdengar bersahutan. Di sisa terakhir tenaganya yang tertinggal, Rasulullah
masih berupaya mengucapkan sesuatu. Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir
Rasulullah yang mulai membiru. "Ummatii, ummatii, ummatiii..."
"Umatku, umatku, umatku..."
Nyawapun meregang, lepas dari jasad
Rasulullah. Tangispun meledak. Semua sahabat merasa telah kehilangan manusia
yang paling mereka cintai, manusia yang memiliki sebaik-baik akhlaq, yang sejak
muda bergelar Al-Amin, Yang Terpercaya.
diizin share
Comments
Post a Comment